Taksonomi SOLO: Fondasi Mengukur Kualitas Pemahaman Mendalam dalam Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan modern, fokus utama telah bergeser dari sekadar mengingat fakta menjadi mencapai pemahaman mendalam (deep learning). Untuk mengevaluasi dan membimbing tingkat pemahaman peserta didik, salah satu kerangka yang paling relevan saat ini adalah Taksonomi SOLO.
Apa sebenarnya Taksonomi SOLO itu, dan mengapa kerangka ini menjadi pondasi penting dalam pendekatan pembelajaran mendalam di Indonesia?
Apa Itu Taksonomi SOLO?
Taksonomi SOLO adalah singkatan dari Structure of Observed Learning Outcomes. Kerangka ini dikembangkan oleh John B. Biggs dan Kevin F. Collis pada tahun 1982 sebagai alternatif atau pelengkap dari Taksonomi Bloom.
Berbeda dengan Taksonomi Bloom yang utamanya berfokus pada pengelompokan proses berpikir atau ranah kognitif siswa (seperti mengingat dan menganalisis), Taksonomi SOLO berfokus pada kualitas hasil belajar dan level pemahaman siswa. Model ini dirancang untuk mengukur bagaimana pemahaman siswa berkembang, mulai dari yang sederhana hingga yang paling kompleks.
Tujuan utama penggunaan SOLO dalam pembelajaran adalah untuk menilai perkembangan kualitas pemahaman dan membantu guru menyusun rubrik asesmen formatif.
5 Tahapan Taksonomi SOLO: Dari Sederhana ke Kompleks
Taksonomi SOLO memiliki lima tingkatan hierarkis yang mengukur struktur dan kompleksitas pemahaman peserta didik:
1. Pre-structural (Prastruktural)
Pada tahap ini, peserta didik memiliki pemahaman yang sangat terbatas atau tidak terarah tentang konsep yang dipelajari. Siswa berada di luar kategori kompetensi dan sering kali termasuk slow learner. Mereka tidak dapat memberikan jawaban yang relevan atau hanya menjawab secara acak.
2. Uni-structural (Unistruktural)
Siswa mulai memahami satu aspek atau elemen dasar dari konsep. Mereka mampu mengidentifikasi, menamakan konsep-konsep dasar, atau memberikan definisi sederhana, tetapi belum bisa menghubungkan informasi tersebut dengan aspek lain.
3. Multi-structural (Multistruktural)
Peserta didik dapat memahami beberapa elemen atau aspek dari konsep. Mereka dapat menyajikan beberapa informasi dari berbagai sudut pandang, namun belum dapat menghubungkan elemen-elemen tersebut secara holistik.
4. Relational (Relasional)
Pada tingkat ini, siswa dianggap cakap. Mereka mampu menghubungkan berbagai elemen yang telah dipelajari untuk membentuk pemahaman yang menyeluruh. Siswa dapat menganalisis dan menjelaskan hubungan antar konsep, mencapai pemahaman yang lebih mendalam.
5. Extended Abstract (Abstrak yang Diperluas)
Ini adalah tingkat pemahaman tertinggi. Peserta didik mampu berpikir kritis dan kreatif, menerapkan pengetahuan mereka dalam konteks baru yang abstrak, menciptakan solusi inovatif, dan memberikan rekomendasi atau saran. Mereka dapat membuat generalisasi dan mentransfer pemahaman ke situasi berbeda.
Integrasi SOLO dan Taksonomi Bloom dalam Deep Learning
Terdapat miskonsepsi bahwa Taksonomi SOLO menggantikan Taksonomi Bloom. Dalam konteks Pembelajaran Mendalam (Deeper Learning), Dr. Rahmi Ramadani menekankan bahwa Taksonomi Bloom tetap digunakan, namun dikombinasikan dengan Taksonomi SOLO.
• Taksonomi Bloom berfungsi sebagai kendaraan atau alat untuk merancang urutan kegiatan pembelajaran berdasarkan proses berpikir kognitif (misalnya, Mengingat, Memahami, Menganalisis).
• Taksonomi SOLO berfungsi sebagai jalur untuk memetakan kualitas dan keluasan pemahaman yang diharapkan dari aktivitas tersebut.
Integrasi ini sangat relevan karena Bloom memandu aktivitas, sementara SOLO menilai sejauh mana kualitas pemahaman siswa telah berkembang di setiap tahap.
Dalam tiga pengalaman belajar dalam Pembelajaran Mendalam (Memahami, Mengaplikasikan, dan Merefleksikan), hubungan dengan SOLO dapat dipetakan sebagai berikut:
Pengalaman Belajar (Deep Learning) |
Level SOLO yang Diharapkan |
Proses Bloom yang Dominan |
Memahami |
Multistruktural
(Goals) |
Mengingat, Memahami |
Mengaplikasikan |
Relasional
(Goals) |
Menerapkan,
Menganalisis |
Merefleksikan |
Extended Abstract
(Goals) |
Mengevaluasi, Mencipta |
Ketika guru menyusun tujuan pembelajaran, kata kerja operasional (KKO) dari Bloom dapat tetap digunakan. Namun, rubrik penilaian dan kualitas pemahaman yang diharapkan (terutama dalam asesmen yang non-pilihan ganda) harus mengacu pada level SOLO.
Implementasi Taksonomi SOLO dalam Merancang Tugas
Taksonomi SOLO membantu guru merancang pertanyaan dan tugas dengan tingkat kesulitan yang bertahap. Tugas atau asesmen yang disusun berdasarkan SOLO cenderung tidak berbentuk pilihan ganda (multiple choice), melainkan bersifat uraian, proyek, atau simulasi, yang menuntut proses berpikir yang lebih kompleks.
Berikut adalah contoh bagaimana pertanyaan dapat disusun sesuai dengan tahapan SOLO (mengambil contoh dari topik urbanisasi):
Level SOLO |
Contoh Pertanyaan/Tugas |
Pre-structural |
Perpindahan penduduk
dari desa ke kota disebut sebagai? |
Uni-structural |
Apa saja
karakteristik masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan? |
Multi-structural |
Jelaskan perbedaan
karakteristik masyarakat pedesaan dan perkotaan? |
Relational |
Mengapa
generasi muda di desa banyak yang memilih melakukan urbanisasi walaupun ada
kesempatan kerja jadi petani di desa? |
Extended Abstract |
Fenomena urbanisasi
generasi muda membuat jumlah petani makin menurun. Bagaimana Anda melihat
fenomena ini, apa saja dampaknya baik bagi masyarakat desa maupun perkotaan? |
Pertanyaan di tingkat Extended Abstract menuntut siswa untuk menerapkan pemahaman relasional mereka pada situasi baru dan memberikan pemikiran kreatif (rekomendasi atau argumentasi mendalam).
Penutup
Taksonomi SOLO adalah alat yang powerful bagi pendidik. SOLO tidak hanya menilai apakah jawaban siswa benar atau salah, tetapi juga mengukur tingkat kedalaman dan keluasan pemahaman mereka. Dengan mengintegrasikan SOLO bersama Bloom, guru dapat merancang pengalaman belajar yang benar-benar mendalam, memastikan siswa tidak hanya mencapai pemahaman di permukaan (surface learning) tetapi mampu mentransfer dan mengaplikasikan konsep yang dipelajari dalam kehidupan nyata.
Posting Komentar