Utang Kereta Cepat Whoosh Rp120 Triliun: Jebakan Debt Trap, Pelanggaran Syariat, dan Siapa yang Seharusnya Bertanggung Jawab?

Table of Contents


Bom Waktu Keuangan Whoosh: Dari US$1,9 Miliar ke Rp120 Triliun

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi perbincangan hangat, khususnya terkait pembengkakan biaya dan utang yang harus ditanggung negara. Proyek yang menelan dana hingga sekitar 120 triliun Rupiah (setara US$7,2 miliar) ini dianggap sebagai proyek yang bermasalah sejak awal, bahkan sebelum tiang pancang pertama dipasang.

Pembengkakan biayanya sangat luar biasa. Awalnya, perkiraan biaya hanya sekitar US1,9miliar, namun membengkak hingga US8 miliar (sekitar 114 triliun Rupiah), dan akhirnya menyentuh angka US$7,2 miliar. Peningkatan biaya ini disinyalir oleh berbagai pihak, termasuk Mahfud MD, kemungkinan disebabkan oleh korupsi yang sangat besar.

Janji B2B yang Dilanggar dan Intervensi APBN

Sejak awal, proyek Kereta Cepat diklaim sebagai kerja sama business to business (B2B) yang tidak akan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, janji ini dilanggar. Ketika proyek mengalami kemacetan (mangkrak), APBN akhirnya digelontorkan untuk me-backup dana.

Sebagian besar pembiayaan (75%) Whoosh didapatkan dari pinjaman Tiongkok. Dana pinjaman ini memiliki rincian bunga yang cukup tinggi: 2% per tahun untuk pinjaman dalam US Dolar (60% dari total) dan 3,4% per tahun untuk pinjaman dalam Yuan (40% dari total).

Sorotan Kritis Ekonomi Islam: Proyek Haram dan Penjajahan Ekonomi

Dalam pandangan Kajian Sistem Ekonomi Islam, proyek KCJB ini dinilai haram secara hukum syara’ dan membawa kemudaratan. Ustaz Dr. Arim Nasim menyebutkan bahwa masalah fundamental proyek ini mencakup aspek pendanaan dan teknis proyek:
  1. Pendanaan Berbasis Riba (Bunga): Sumber pembiayaan utama adalah utang berbunga. Dalam Islam, bunga (riba) adalah hal yang diharamkan dan bahkan diancam perang oleh Allah dan Rasul-Nya.
  2. Pajak Rakyat untuk Oligarki: Penggunaan APBN untuk membayar utang Whoosh berarti dana yang dikumpulkan dari pajak rakyat dialokasikan bukan kembali kepada rakyat, melainkan untuk kepentingan proyek oligarki.
  3. Alat Penjajahan Ekonomi Cina: Investasi asing yang disertai utang, terutama yang berbunga, disebut sebagai cara yang ditempuh negara kapitalis (seperti Tiongkok) untuk menjajah secara ekonomi. Proyek ini juga seolah-olah mengokohkan peran politik Tiongkok secara internasional.
  4. Bukan Kebutuhan Primer: Proyek kereta cepat dianggap bukan kebutuhan primer masyarakat, melainkan infrastruktur sekunder. Proyek yang bersifat sekunder haram dibiayai dari utang berbunga.

Dampak Mengerikan: BUMN Berdarah-darah

Konsekuensi dari proyek yang dipaksakan dan biaya yang membengkak ini adalah kerugian triliunan yang ditanggung oleh BUMN:
  • PT Wijaya Karya (WIKA): Perusahaan ini mengalami kerugian hingga 7,12 triliun Rupiah pada tahun 2023, yang salah satunya disebabkan oleh beban bunga utang proyek Kereta Cepat yang tergolong cukup tinggi. Utang WIKA naik menjadi 56 triliun Rupiah.
  • PT Kereta Api Indonesia (KAI): Diprediksi KAI akan menanggung kerugian kurang lebih 6 triliun Rupiah hingga tahun 2026 akibat proyek ini.

Bahkan, meskipun Menteri Keuangan baru menyarankan agar utang ini ditanggung oleh Danantara (dana yang berasal dari dividen BUMN), pada hakikatnya, dana tersebut juga merupakan dana negara/dana rakyat.

Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Proyek yang Dipaksakan?

Proses penyelesaian utang ini sempat memicu pembentukan Komite Kereta Cepat Jakarta Bandung oleh Presiden Jokowi, dengan koordinatornya adalah Luhut Binsar Panjaitan. Anggota Komite lainnya termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Luhut Binsar Panjaitan sendiri pernah mengatakan bahwa keuangan kereta cepat sudah busuk sejak awal, namun ia tetap memaksakan agar proyek itu tidak boleh mundur. Hal ini menunjukkan adanya rezim yang penuh kebohongan dan menjadikan proyek infrastruktur sebagai sarana untuk korupsi.
Proyek ini juga disebut merampas tanah rakyat secara zalim, di mana beberapa petani tidak mendapatkan ganti rugi yang layak, serta merusak lingkungan dan ekosistem lokal.

Solusi Radikal: Hentikan dan Adili Penanggung Jawab

Solusi yang disarankan oleh pakar dalam kajian sistem ekonomi Islam ini harus menggunakan pendekatan politik karena masalah ini muncul dari kebijakan politik, bukan murni ekonomi:
  1. Kaji Ulang dan Hentikan: Proyek ini harus dikaji ulang secara komprehensif dan dihentikan jika terbukti tidak layak, karena proyek ini dinilai tidak untuk kepentingan rakyat.
  2. Adili Pelaku Korupsi: Perlu adanya keberanian untuk mengadili penanggung jawab proyek yang merugikan rakyat dan negara, termasuk Jokowi dan komite yang terlibat.
  3. Tolak Utang Penjajah: Harus berani menolak pembayaran utang kepada Tiongkok, mengingat Tiongkok disebut telah mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar (ribuan triliun Rupiah) dari penjarahan sumber daya alam Indonesia (seperti nikel).

Selama sistem yang diterapkan masih kapitalis dan demokrasi, kebijakan yang pro-rakyat tidak akan pernah ada, dan semua kebijakan akan mengabdi kepada kepentingan oligarki dan kapitalis. Perubahan signifikan baru akan terjadi jika sistem fiskal dan pengelolaan negara didasarkan pada syariat Islam.

Kata Kunci Utama: Utang Kereta Cepat, APBN, Sistem Ekonomi Islam, BUMN Rugi, Penjajahan Ekonomi Cina, Korupsi Proyek.

Post a Comment