Suara Indonesia dari Sumenep: Kebijakan yang Mendefinisikan Ulang Peran Ayah
Di tengah hiruk pikuk agenda pembangunan daerah, sebuah kebijakan di ujung timur Pulau Madura, Kabupaten Sumenep, berhasil mencuri perhatian publik nasional. Bukan soal infrastruktur atau investasi, melainkan sebuah gerakan sosial yang menyentuh inti terdalam unit terkecil masyarakat: keluarga. Bupati Sumenep, Achmad Fauzi, mencanangkan sebuah inisiatif yang sederhana namun memiliki implikasi sosial yang masif: Gerakan Ayah Ambil Rapor Anak di Sekolah.
Kebijakan ini, yang mewajibkan ayah untuk hadir secara langsung mengambil hasil evaluasi belajar anak di sekolah, jauh melampaui urusan administrasi sekolah. Ini adalah pernyataan politik yang kuat, sebuah upaya rekayasa sosial yang bertujuan menggeser paradigma lama tentang peran domestik dan pendidikan. Dalam konteks Indonesia, di mana urusan sekolah sering kali secara kultural dianggap sebagai "urusan ibu," kebijakan Sumenep ini menjadi sebuah gebrakan yang patut diapresiasi, dikaji, dan idealnya, direplikasi.
Namun, seperti halnya kebijakan progresif lainnya, gerakan ini memantik diskusi yang berimbang. Apakah ini hanya simbolis? Bagaimana menghadapi tantangan budaya dan ekonomi yang membentang? Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa kebijakan ini bukan hanya penting, tetapi fundamental dalam membangun generasi mendatang yang lebih resilien, serta menelaah tantangan implementasinya.
Kesenjangan Keterlibatan Paternal: Data dan Realitas di Sekolah
Dalam banyak studi sosiologi keluarga, khususnya di Asia Tenggara, terdapat fenomena yang disebut sebagai "kesenjangan keterlibatan paternal" dalam urusan pendidikan formal. Figur ayah sering diidentikkan sebagai pencari nafkah utama (breadwinner) yang perannya diukur dari kemampuan ekonomi, sementara ibu mengambil peran sebagai manajer rumah tangga, termasuk urusan kurikulum, pertemuan orang tua murid (POMG), hingga pengambilan rapor.
Realitas ini menciptakan dua dampak negatif. Pertama, anak kehilangan validasi penting dari figur ayah dalam pencapaian akademiknya. Kehadiran ayah di momen krusial seperti pengambilan rapor mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada anak: "Ayah memprioritaskan pendidikanmu, sama seperti Ayah memprioritaskan pekerjaan." Kedua, peran ibu menjadi terlalu terbebani. Meskipun ibu seringkali secara alami lebih mahir dalam komunikasi emosional, keterlibatan aktif ayah memberikan keseimbangan yang diperlukan, terutama dalam aspek pengambilan keputusan dan disiplin positif.
Data global, meski belum spesifik untuk Sumenep, menunjukkan korelasi kuat antara keterlibatan ayah yang tinggi (meluangkan waktu untuk membaca, berdiskusi pekerjaan rumah, dan menghadiri acara sekolah) dengan peningkatan prestasi akademik anak, penurunan masalah perilaku, dan peningkatan kepercayaan diri. Sebuah laporan dari *National Fatherhood Initiative* di Amerika Serikat, misalnya, menyoroti bahwa anak-anak yang ayahnya terlibat aktif cenderung memiliki skor uji yang lebih tinggi dan peluang putus sekolah yang lebih rendah.
Sumenep, melalui gerakan ini, secara cerdas memanfaatkan momen pengambilan rapor sebagai *titik masuk* (entry point) untuk memaksa terjadinya interaksi dan dialog antara ayah, anak, dan institusi sekolah. Ini adalah cara paling efektif untuk mengubah kebiasaan, bukan sekadar imbauan moral.
Redefinisi Maskulinitas: Melawan Stereotip 'Ayah Jauh'
Salah satu argumen terkuat yang mendukung kebijakan Ayah Ambil Rapor adalah perannya dalam mendefinisikan ulang konsep maskulinitas. Dalam masyarakat tradisional, termasuk di wilayah Madura, peran laki-laki seringkali dibatasi pada ruang publik, sementara ruang domestik dianggap sebagai wilayah perempuan. Gerakan ini menantang pemahaman bahwa tanggung jawab pendidikan hanya sebatas menyediakan biaya sekolah.
Ayah modern haruslah hadir secara emosional dan fisik. Dengan datang ke sekolah, ayah tidak hanya mengambil selembar kertas berisi nilai, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk:
1. **Berinteraksi Langsung dengan Guru:** Ayah dapat memahami perspektif guru mengenai tantangan dan potensi spesifik anak, yang mungkin berbeda dari cerita yang disampaikan anak di rumah.
2. **Melihat Lingkungan Belajar Anak:** Kehadiran di sekolah memberikan konteks visual dan suasana yang membantu ayah lebih terhubung dengan keseharian anak.
3. **Memperkuat Peran Model:** Ketika anak melihat ayahnya berinteraksi dengan hormat terhadap otoritas pendidikan, ini menjadi pelajaran karakter yang sangat berharga.
Bagi Sumenep, yang memiliki tradisi *merantau* (migrasi mencari nafkah) yang cukup kuat, kebijakan ini menjadi semakin krusial. Ketika para ayah pulang, bahkan untuk sementara, mereka harus didorong untuk mengalokasikan waktu berkualitas yang tidak hanya berorientasi pada ekonomi. Gerakan Ayah Ambil Rapor memastikan bahwa waktu yang tersedia digunakan untuk membangun ikatan emosional dan memastikan kesinambungan pengawasan pendidikan. Ini adalah langkah maju dari sekadar "Ayah mencari nafkah" menuju "Ayah mendidik dan mengasuh."
Tantangan Implementasi: Dari Kebijakan ke Budaya
Meskipun memiliki niat mulia, implementasi kebijakan ini tentu tidak tanpa hambatan. Kritik yang berimbang harus mempertimbangkan realitas lapangan.
**Pertama, Isu Waktu Kerja dan Ekonomi.** Tidak semua ayah memiliki fleksibilitas jam kerja, terutama mereka yang bekerja di sektor informal, buruh harian, atau sebagai nelayan yang jam kerjanya tidak teratur. Mewajibkan kehadiran di tengah hari sekolah bisa berarti kehilangan pendapatan harian, yang mana hal ini sangat memberatkan bagi keluarga prasejahtera.
Untuk mengatasi ini, pemerintah daerah dan sekolah perlu menunjukkan fleksibilitas. Solusi yang dapat dipertimbangkan meliputi:
* **Jadwal Fleksibel:** Sekolah dapat menjadwalkan pengambilan rapor di luar jam kerja normal (misalnya, Sabtu pagi atau sesi sore khusus Ayah).
* **Surat Edaran Penguatan:** Pemerintah daerah dapat mengeluarkan surat edaran kepada perusahaan swasta dan instansi pemerintah di Sumenep untuk memberikan dispensasi waktu bagi para ayah pada hari pengambilan rapor.
**Kedua, Realitas Keluarga Tunggal dan Migrasi.** Bagaimana dengan anak yang ayahnya sudah meninggal, bercerai, atau sedang merantau di luar pulau dalam jangka waktu lama? Kebijakan ini harus memiliki klausul pengecualian yang jelas agar tidak menimbulkan diskriminasi atau kesulitan administrasi. Dalam kasus ini, kehadiran wali atau figur laki-laki dewasa terdekat (kakek, paman, atau saudara laki-laki dewasa) dapat menjadi alternatif, namun esensi keterlibatan paternal tetap harus diupayakan.
**Ketiga, Resistensi Budaya.** Perubahan budaya adalah proses yang lambat. Beberapa ayah mungkin merasa canggung atau merasa hal ini "bukan urusan mereka." Di sinilah peran sosialisasi dan *advokasi* dari pemerintah daerah dan tokoh masyarakat menjadi vital. Gerakan ini harus dipromosikan sebagai simbol kehormatan dan tanggung jawab, bukan sekadar kewajiban.
Dampak Jangka Panjang: Resiliensi Keluarga dan Keseimbangan Gender
Jika dilaksanakan secara konsisten dan didukung oleh infrastruktur kebijakan yang fleksibel, Gerakan Ayah Ambil Rapor di Sumenep dapat menjadi studi kasus nasional mengenai pembangunan keluarga yang resilien.
Keterlibatan ayah yang lebih dalam tidak hanya meningkatkan prestasi anak, tetapi juga berkontribusi pada keseimbangan mental orang tua. Ketika tanggung jawab pendidikan dibagi, beban emosional yang seringkali menumpuk pada ibu dapat berkurang. Hal ini secara tidak langsung mendukung upaya kesetaraan gender di tingkat domestik, menunjukkan bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab bersama, bukan beban salah satu pihak.
Lebih jauh lagi, peningkatan interaksi positif antara ayah dan anak di usia sekolah dapat menjadi benteng pencegahan terhadap masalah sosial seperti kenakalan remaja. Ayah yang hadir adalah ayah yang mendengarkan, dan ayah yang mendengarkan adalah ayah yang mampu membimbing. Dalam konteks sosial yang semakin kompleks dan tantangan digital yang mengintai anak-anak, kehadiran fisik dan emosional ayah adalah investasi keamanan sosial yang tak ternilai harganya.
Menanti Gema Kebijakan dari Ujung Madura
Gerakan Ayah Ambil Rapor di Sumenep adalah sebuah keberanian kebijakan yang patut diacungi jempol. Ini adalah langkah progresif yang mengakui bahwa pembangunan sumber daya manusia tidak bisa diukur hanya dari anggaran yang dialokasikan, tetapi dari kualitas waktu yang diinvestasikan oleh unit keluarga itu sendiri.
Kebijakan ini mengirimkan pesan yang jelas kepada seluruh masyarakat Sumenep: menjadi ayah yang baik bukan hanya berarti menyediakan uang, tetapi menyediakan diri—hadir secara utuh dalam setiap tahapan penting kehidupan anak. Semoga gerakan ini tidak hanya menjadi kebijakan musiman, tetapi menjadi landasan budaya baru yang menginspirasi daerah lain di Indonesia untuk memperkuat peran ayah dalam pilar pendidikan nasional. Indonesia membutuhkan lebih banyak kebijakan yang berani mengintervensi norma sosial demi masa depan anak-anaknya.
Post a Comment